“Sudahlah,
Nis. Lupakan saja dia. Pasti kau akan mendapat yang lebih baik darinya.” Aku
menghibur Nisa. Ia menangis setelah memergoki Jaka yang sedang selingkuh.
“Kau berbicara seperti itu karena cintamu selalu berbalas. Tak seperti diriku yang selalu patah hati,” ia menggerutu.
“Nis, jangan terlalu cinta sama cowok. Mereka akan mempermainkanmu nantinya.”
“Aku tahu. Karena kamu playgirl. Kamu tak pernah jatuh cinta.”
Air matanya mengalir semakin deras. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa memeluk Nisa supaya hatinya lebih tenang.
↔↔↔↔
Itulah
Nisa, sahabatku yang berhati lembut. Tapi kelemahannya, jika ia jatuh cinta, ia
akan mendalami perasaannya. Tak sedikit lelaki yang mempermainkannya. Bahkan
salah satu mantan kekasihnya pernah menjadi pacarku. Aku merasa jadi sahabat
yang jahat.
Dan
aku, inilah aku. Namaku Arumania. Teman-teman menjulukiku palygirl. Ya, aku
memang playgirl. Playgirl kelas teri yang sedang bertahap naik ke kelas kakap.
Kalau bisa sampai ke kelas hiu. Tapi entah mengapa aku merasa bangga mendapat
julukan itu. Mungkinkah aku ditakdirkan
menjadi playgirl sejati?
Mungkin selama ini orang mengira bahwa palaygirl adalah “cewek murahan”. Tapi tidak bagiku. Playgirl bukan murahan. Playgirl adalah cewek yang suka mempermainkan perasaan cowok.
Aku
dijuluki playgirl sajak kelas 3 SMP. Sebenarnya aku tak pernah berniat menjadi
playgirl. Awalnya karena ada banyak cowok yang menyatakan perasaan mereka. Ada
yang mengirim surat cinta, SMS, e-mail, bahkan ada yang berkata langsung padaku.
Aku bingung darimana mereka mengenalku. Padahal aku bukan anak tenar. Tapi karena rasa penasaran, aku menemui mereka. Ternyata wajah dan penampilan mereka sangat keren. Jauh dari kata pas-pasan. Aku jadi bingung mana yang harus kupilih. Akhirnya setelah berpikir 3 hari 3 malam, aku menerima mereka.
Pacarku lebih dari 1 orang. Jadwal ketemuan bisa ku atur dengan baik. Agar alibiku sebagai seorang playgirl tak terlihat, aku punya taktik jitu yang tak pernah digunakan cewek-cewek lain. Salah satunya dengan menggunakan “Junjou Shugi”, yang artinya prinsip kesucian cinta (lagu JKT48). Aku tak mau mereka menyentuhku, memegang tanganku, menciumku, memelukku, dan sampai membobol keperawananku. Anehnya mereka tak curiga pada prinsipku. Mereka hanya diam menuruti perintahku.
Taktik kedua, aku tak pernah minta diantar dan dijemput ketika sedang pergi. Aku lebih senang pergi sendiri atau bersama Nisa. Aku melakukan hal ini agar terlihat mandiri di mata mereka. Padahal sebenarnya aku tak ingin alibiku ketahuan. Aku selalu beralasan “sudah dijemput ayah.”
Yang ketiga, aku selalu membayar dengan uangku sendiri ketika diajak makan dan berbelanja. Ini ku lakukan agar tak terlihat matre. Walaupun mereka bersikeras ingin membayar belanjaanku, aku selalu menolak. Mereka hanya pasrah sambil mengelus dada. Bahkan ada yang mengancam, “Tapi lain kali, kalau ku bayarkan, kamu harus mau. Awas kalau tidak!”
“Iya,
iya,” jawabku sambil menjulurkan lidah.
↔↔↔↔
Jika
aku mengingat masa lalu, aku jadi ingin tertawa. Kadang aku berpikir betapa
jahatnya diriku. Aku mempermainkan perasaan mereka. Padahal mereka sangat
mencintai dan menyayangiku.
“Heh, mengapa bengong?” sahut Nisa sambil menepuk pundakku.
“Oh,
tak ada apa-apa,” jawabku. “Bagaimana? Patah hatimu sudah hilang?”
“Syukur
alhamdulillah. Mungkin sebentar lagi akan dapat yang baru,” jawabnya.
“Hei,
mengapa kau mudah sekali jatuh cinta?” aku bingung.
“Karena
aku ingin mengikuti jejakmu. Katamu jangan mendalami perasaan. Kau ini
bagaimana, sih?” Nisa setengah kesal.
“oh
iya aku lupa.” Kemudian ia mengelus dada.
↔↔↔↔
Sore
ini adalah jadwalku bertemu Rio. Aku segera menemuinya di tempat biasa kita
bertemu. Sepertinya ia sudah kangen tingkat dewa. Aku melihat dari raut
wajahnya.
“Sayang,
hari ini kamu cantik sekali. Sudah satu minggu tak bertemu kamu. Kangen
banget.”
“Kan
baru satu minggu, Yang,” jawabku.
“satu
minggu kau bilang baru? Aku merasa satu minggu akan seperti satu tahun jika tak
bertemu denganmu,” ujarnya.
“Ah,
kamu gombal.”
“aku
serius, Sayang,” jawabnya sambil tertawa.
Kami pun bercanda ria . aku selalu tertawa mendengar kata-kata gombalnya. Namun ditengah canda, tiba-tiba Rio mendaratkan bibirnya di pipiku. Ya, dia menciumku. Lantas dengan refleks aku mendaratkan tanganku ke pipinya. “Plak.” Aku menamparnya.
“Mengapa
ditampar?”, tanyanya bingung.
“Dia
siapa, Sayang? Tadi aku melihat dia menciummu.” Tiba-tiba ada seorang cowok
menghampiri kami. Dia Edo, pacarku yang lain.
“Aku
pacar Arum. Siapa kau? Pakai manggil sayang pula,” Rio marah.
“Tak
usah ngaku-ngaku. Aku pacar Arum,” bantah Edo sambil mengepalkan tangannya.
Kemudian mendaratkannya di pipi Rio. Terjadilah adu jotos antara mereka.
Karena
aku bingung harus berbuat apa, aku pergi meninggalkan mereka. Sementara adegan
perkelahian itu terus berlanjut.
↔↔↔↔
Pulang
sekolah, Rio menghampiriku.
“Siapa
cowok yang kemarin?”
“Cowok
yang mana?” aku balik bertanya.
“Sudahlah,
tak usah pura-pura lupa. Itu, yang kemarin menonjok mukaku hingga babak belur.
Pakai manggil kamu sayang pula,” jawabnya.
“Oh,
itu Edo.”
“Edo?
Jadi namanya Edo? Dia ada hubungan apa denganmu?”
“Dia
pacarku juga. Sama sepertimu,” jawabku
singkat.
“Oh, jadi pacarmu bukan hanya aku. Hebat sekali.”
“Aku
minta maaf.”
“Maaf?
Untuk apa? Ini sudah jelas kalau kau mempermainkanku. Aku tak bisa seperti ini,
Rum. Rasa cinta dan sayangku sepertinya sia-sia. Aku mau kita putus.”
“Ya
sudah kalau itu maumu. Aku ikhlas,” ujarku. Kemudian aku pergi
meninggalkannya. Tak ada rasa sesal sedikitpun.
Di
jalan aku bertemu Edo.
“Arum”
ia memanggilku.
Aku
hanya melirik. Aku tak ingin menjawabnya. Tapi kemudian ia mengejarku.
“Aku
ingin bertanya, siapa cowok yang menciummu kemarin? Mengapa ia mengaku pacar
kamu?”
“Iya,
kemarin dia memang pacarku. Tapi dia baru saja minta putus.”
“Aku
minta maaf. Aku sayang dan cinta padamu. Aku tak rela ada cowok yang sengaja
merusak harga dirimu,” ujarnya.
“Terima
kasih,” jawabku. “Tapi aku tak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tak mau ada
adegan kekerasan seperti kemarin. Good bye.”
Kemudian aku pergi meninggalkannya. Aku pun tak menyesal telah meninggalkan Edo, seperti saat Rio meninggalkanku.
↔↔↔↔
“Apa?
Kamu putus dari Rio dan Edo?” tanya Nisa terkejut.
“Iya.
Tapi tenang saja. Aku masih punya Beni,” jawabku.
“Tapi
kalau nantinya Beni minta putus juga, kamu mau sama siapa?” tanyanya dengan
setengah menantang.
“Jomblo
pun tak apa. Hahaha.”
“ya
sudahlah. Yang penting aku sudah mengingatkanmu tentang hukum karma. Nanti
kalau kamu terkena, aku tak bisa menolongmu,” ia menakut-nakutiku.
“Aku
percaya hukum karma. Tapi karmanya tak harus mengenai diriku, kan ?”
“Lalu
kena siapa nantinya?” ia bengong.
“Kan
sudah kena ke kamu. Hahaha,” candaku.
“Huh,
mentang-mentang aku sering dimainkan cowok, kau bilang itu adalah karmamu.
Kalau ada cowok yang benar-benar mencintaiku, aku akan mengerjaimu,” ancam
Nisa.
“Kan
aku hanya bercanda.”
“Tapi
bercandanya jangan begitu.”
Akhirnya
kami bercanda ria sampai pulang sekolah.
↔↔↔↔
Tak
terasa hari kelulusan telah tiba. Aku dan teman-teman harus berpisah menuju
masa depan masing-masing. Kami bersyukur karena sekolah kami lulus 100%. Karena
swasta, sekolah kami mengadakan acara wisuda. Di acara itu Beni menemaniku.
“Sayang, selamat atas kelulusanmu. Semoga kau bisa melanjutkan ke perguruan tinggi impianmu,” kata Beni.
“Terima
kasih, Sayang. Selamat juga atas kelulusanmu,” balasku. “Tapi mengapa kau tak
menghadiri acara kelulusan di sekolahmu?" tanyaku. Beni sekolah di SMK negeri.
“Tenang,
Sayang. Sudah diwakli oleh orang tuaku. Sekolahku juga lulus 100%,” jawabnya.
Tiba-tiba ada cewek menghampiri Beni. Namanya Linda, mantan Ketua OSIS di sekolahku. “Hai, Ben, apa kabar? Lama tak bertemu. Mengapa kau ada disini? Kau merindukanku?”
“Aku
disini menemani pacarku, Lin. Pacarku sekolah disini. Namanya Arum. Kamu
kenal?”
“Oh,
ini pacar kamu? Dia playgirl, Beni. Kau harus berhati-hati. Dia suka
mempermainkan perasaan cowok.”
“Masa,
sih? Kamu jangan sembarang bicara. Aku mengenalnya sudah lama. Aku berpacaran
dengannya sudah 1 tahun,” Beni membantah.
“Kalau
kau tak percaya, tak apa. Suatu saat kau pasti akan tahu,” ujar Linda.
“Dan
Arum, kau harus tahu 1 hal. Dulu aku pernah berpacaran dengan Beni. Aku pernah
hampir hamil gara-gara dia. Karena aku suka memanjakan matanya,” jelas Linda
padaku.
“Apa benar
yang dikatakan Linda? Pantas saja selama ini kau ingin berbuat mecam-macam
padaku. Aku tak menyangka kalau kamu melakukan hal yang dilarang oleh agama,”
ujarku.
“Dia
berbohong, Rum.aku tak pernah melakukan hal itu. Percayalah padaku,” ia
memohon.
“Aku
tak bisa percaya padamu, Ben. Yang dikatakan Linda bahwa aku seorang playgirl
itu benar. Tapi walau playgirl, aku tak mau disamakan dengan perempuan murahan
sepertinya,” kataku sambil menunjuk ke arah Linda.
“Sekarang
juga aku minta kita putus,” ujarku.
Beni
dan Linda hanya menatapku kebingungan. Akhirnya aku bergabung dengan Nisa dan
keluarganya. Ku rayakan kelulusan dengan hati gembira.
--Bersambung--
0 komentar