Catatan Hati Seorang Playgirl (Bag.1)



“Sudahlah, Nis. Lupakan saja dia. Pasti kau akan mendapat yang lebih baik darinya.” Aku menghibur Nisa. Ia menangis setelah memergoki Jaka yang sedang selingkuh.

“Kau berbicara seperti itu karena cintamu selalu berbalas. Tak seperti diriku yang selalu patah hati,” ia menggerutu.

“Nis, jangan terlalu cinta sama cowok. Mereka akan mempermainkanmu nantinya.”

“Aku tahu. Karena kamu playgirl. Kamu tak pernah jatuh cinta.”

Air matanya mengalir semakin deras. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa memeluk Nisa supaya hatinya lebih tenang.
                                                            ↔↔↔↔
Itulah Nisa, sahabatku yang berhati lembut. Tapi kelemahannya, jika ia jatuh cinta, ia akan mendalami perasaannya. Tak sedikit lelaki yang mempermainkannya. Bahkan salah satu mantan kekasihnya pernah menjadi pacarku. Aku merasa jadi sahabat yang jahat.
Dan aku, inilah aku. Namaku Arumania. Teman-teman menjulukiku palygirl. Ya, aku memang playgirl. Playgirl kelas teri yang sedang bertahap naik ke kelas kakap. Kalau bisa sampai ke kelas hiu. Tapi entah mengapa aku merasa bangga mendapat julukan itu.  Mungkinkah aku ditakdirkan menjadi playgirl sejati?

Mungkin selama ini orang mengira bahwa palaygirl adalah “cewek murahan”. Tapi tidak bagiku. Playgirl bukan murahan. Playgirl adalah cewek yang suka mempermainkan perasaan cowok.
Aku dijuluki playgirl sajak kelas 3 SMP. Sebenarnya aku tak pernah berniat menjadi playgirl. Awalnya karena ada banyak cowok yang menyatakan perasaan mereka. Ada yang mengirim surat cinta, SMS, e-mail, bahkan ada yang berkata langsung padaku.

Aku bingung darimana mereka mengenalku. Padahal aku bukan anak tenar. Tapi karena rasa penasaran, aku menemui mereka. Ternyata wajah dan penampilan mereka sangat keren. Jauh dari kata pas-pasan. Aku jadi bingung mana yang harus kupilih. Akhirnya setelah berpikir 3 hari 3 malam, aku menerima mereka.

Pacarku lebih dari 1 orang. Jadwal ketemuan bisa ku atur dengan baik. Agar alibiku sebagai seorang playgirl tak terlihat, aku punya taktik jitu yang tak pernah digunakan cewek-cewek lain. Salah satunya dengan menggunakan “Junjou Shugi”, yang artinya prinsip kesucian cinta (lagu JKT48). Aku tak mau mereka menyentuhku, memegang tanganku, menciumku, memelukku, dan sampai membobol keperawananku. Anehnya mereka tak curiga pada prinsipku. Mereka hanya diam menuruti perintahku.

Taktik kedua, aku tak pernah minta diantar dan dijemput ketika sedang pergi. Aku lebih senang pergi sendiri atau bersama Nisa. Aku melakukan hal ini agar terlihat mandiri di mata mereka. Padahal sebenarnya aku tak ingin alibiku ketahuan. Aku selalu beralasan “sudah dijemput ayah.”

Yang ketiga, aku selalu membayar dengan uangku sendiri ketika diajak makan dan berbelanja. Ini ku lakukan agar tak terlihat matre. Walaupun mereka bersikeras ingin membayar belanjaanku, aku selalu menolak. Mereka hanya pasrah sambil mengelus dada. Bahkan ada yang mengancam,  “Tapi lain kali, kalau ku bayarkan, kamu harus mau. Awas kalau tidak!”
“Iya, iya,” jawabku sambil menjulurkan lidah.
                                                            ↔↔↔↔
Jika aku mengingat masa lalu, aku jadi ingin tertawa. Kadang aku berpikir betapa jahatnya diriku. Aku mempermainkan perasaan mereka. Padahal mereka sangat mencintai dan menyayangiku.

“Heh, mengapa bengong?” sahut Nisa sambil menepuk pundakku.
“Oh, tak ada apa-apa,” jawabku. “Bagaimana? Patah hatimu sudah hilang?”
“Syukur alhamdulillah. Mungkin sebentar lagi akan dapat yang baru,” jawabnya.
“Hei, mengapa kau mudah sekali jatuh cinta?” aku bingung.
“Karena aku ingin mengikuti jejakmu. Katamu jangan mendalami perasaan. Kau ini bagaimana, sih?” Nisa setengah kesal.
“oh iya aku lupa.” Kemudian ia mengelus dada.
                                                            ↔↔↔↔
Sore ini adalah jadwalku bertemu Rio. Aku segera menemuinya di tempat biasa kita bertemu. Sepertinya ia sudah kangen tingkat dewa. Aku melihat dari raut wajahnya.
“Sayang, hari ini kamu cantik sekali. Sudah satu minggu tak bertemu kamu. Kangen banget.”
“Kan baru satu minggu, Yang,” jawabku.
“satu minggu kau bilang baru? Aku merasa satu minggu akan seperti satu tahun jika tak bertemu denganmu,” ujarnya.
“Ah, kamu gombal.”
“aku serius, Sayang,” jawabnya sambil tertawa.

Kami pun bercanda ria . aku selalu tertawa mendengar kata-kata gombalnya. Namun ditengah canda, tiba-tiba Rio mendaratkan bibirnya di pipiku. Ya, dia menciumku. Lantas dengan refleks aku mendaratkan tanganku ke pipinya. “Plak.” Aku menamparnya.
“Mengapa ditampar?”, tanyanya bingung.
“Dia siapa, Sayang? Tadi aku melihat dia menciummu.” Tiba-tiba ada seorang cowok menghampiri kami. Dia Edo, pacarku yang lain.
“Aku pacar Arum. Siapa kau? Pakai manggil sayang pula,” Rio marah.
“Tak usah ngaku-ngaku. Aku pacar Arum,” bantah Edo sambil mengepalkan tangannya. Kemudian mendaratkannya di pipi Rio. Terjadilah adu jotos antara mereka.
Karena aku bingung harus berbuat apa, aku pergi meninggalkan mereka. Sementara adegan perkelahian itu terus berlanjut.
                                                            ↔↔↔↔
Pulang sekolah, Rio menghampiriku.
“Siapa cowok yang kemarin?”
“Cowok yang mana?” aku balik bertanya.
“Sudahlah, tak usah pura-pura lupa. Itu, yang kemarin menonjok mukaku hingga babak belur. Pakai manggil kamu sayang pula,” jawabnya.
“Oh, itu Edo.”
“Edo? Jadi namanya Edo? Dia ada hubungan apa denganmu?”
“Dia pacarku juga. Sama sepertimu,”  jawabku singkat.
“Oh,  jadi pacarmu bukan hanya aku. Hebat sekali.”
“Aku minta maaf.”
“Maaf? Untuk apa? Ini sudah jelas kalau kau mempermainkanku. Aku tak bisa seperti ini, Rum. Rasa cinta dan sayangku sepertinya sia-sia. Aku mau kita putus.”
“Ya sudah kalau itu maumu. Aku ikhlas,” ujarku. Kemudian aku pergi meninggalkannya. Tak ada rasa sesal sedikitpun.
Di jalan aku bertemu Edo.
“Arum” ia memanggilku.
Aku hanya melirik. Aku tak ingin menjawabnya. Tapi kemudian ia mengejarku.
“Aku ingin bertanya, siapa cowok yang menciummu kemarin? Mengapa ia mengaku pacar kamu?”
“Iya, kemarin dia memang pacarku. Tapi dia baru saja minta putus.”
“Aku minta maaf. Aku sayang dan cinta padamu. Aku tak rela ada cowok yang sengaja merusak harga dirimu,” ujarnya.
“Terima kasih,” jawabku. “Tapi aku tak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tak mau ada adegan kekerasan seperti kemarin. Good bye.”

Kemudian aku pergi meninggalkannya. Aku pun tak menyesal telah meninggalkan Edo, seperti saat Rio meninggalkanku.
                                                            ↔↔↔↔
“Apa? Kamu putus dari Rio dan Edo?” tanya Nisa terkejut.
“Iya. Tapi tenang saja. Aku masih punya Beni,” jawabku.
“Tapi kalau nantinya Beni minta putus juga, kamu mau sama siapa?” tanyanya dengan setengah menantang.
“Jomblo pun tak apa. Hahaha.”
“ya sudahlah. Yang penting aku sudah mengingatkanmu tentang hukum karma. Nanti kalau kamu terkena, aku tak bisa menolongmu,” ia menakut-nakutiku.
“Aku percaya hukum karma. Tapi karmanya tak harus mengenai diriku, kan ?”
“Lalu kena siapa nantinya?” ia bengong.
“Kan sudah kena ke kamu. Hahaha,” candaku.
“Huh, mentang-mentang aku sering dimainkan cowok, kau bilang itu adalah karmamu. Kalau ada cowok yang benar-benar mencintaiku, aku akan mengerjaimu,” ancam Nisa.
“Kan aku hanya bercanda.”
“Tapi bercandanya jangan begitu.”
Akhirnya kami bercanda ria sampai pulang sekolah.
                                                            ↔↔↔↔
Tak terasa hari kelulusan telah tiba. Aku dan teman-teman harus berpisah menuju masa depan masing-masing. Kami bersyukur karena sekolah kami lulus 100%. Karena swasta, sekolah kami mengadakan acara wisuda. Di acara itu Beni menemaniku.

“Sayang, selamat atas kelulusanmu. Semoga kau bisa melanjutkan ke perguruan tinggi impianmu,” kata Beni.
“Terima kasih, Sayang. Selamat juga atas kelulusanmu,” balasku. “Tapi mengapa kau tak menghadiri acara kelulusan di sekolahmu?" tanyaku. Beni sekolah di SMK negeri.
“Tenang, Sayang. Sudah diwakli oleh orang tuaku. Sekolahku juga lulus 100%,” jawabnya.

Tiba-tiba ada cewek menghampiri Beni. Namanya Linda, mantan Ketua OSIS di sekolahku. “Hai, Ben, apa kabar? Lama tak bertemu. Mengapa kau ada disini? Kau merindukanku?”
“Aku disini menemani pacarku, Lin. Pacarku sekolah disini. Namanya Arum. Kamu kenal?”
“Oh, ini pacar kamu? Dia playgirl, Beni. Kau harus berhati-hati. Dia suka mempermainkan perasaan cowok.”
“Masa, sih? Kamu jangan sembarang bicara. Aku mengenalnya sudah lama. Aku berpacaran dengannya sudah 1 tahun,” Beni membantah.
“Kalau kau tak percaya, tak apa. Suatu saat kau pasti akan tahu,” ujar Linda.
“Dan Arum, kau harus tahu 1 hal. Dulu aku pernah berpacaran dengan Beni. Aku pernah hampir hamil gara-gara dia. Karena aku suka memanjakan matanya,” jelas Linda padaku.
“Apa benar yang dikatakan Linda? Pantas saja selama ini kau ingin berbuat mecam-macam padaku. Aku tak menyangka kalau kamu melakukan hal yang dilarang oleh agama,” ujarku.
“Dia berbohong, Rum.aku tak pernah melakukan hal itu. Percayalah padaku,” ia memohon.
“Aku tak bisa percaya padamu, Ben. Yang dikatakan Linda bahwa aku seorang playgirl itu benar. Tapi walau playgirl, aku tak mau disamakan dengan perempuan murahan sepertinya,” kataku sambil menunjuk ke arah Linda.
“Sekarang juga aku minta kita putus,” ujarku.
Beni dan Linda hanya menatapku kebingungan. Akhirnya aku bergabung dengan Nisa dan keluarganya. Ku rayakan kelulusan dengan hati gembira.
                                                            --Bersambung--

You May Also Like

0 komentar

About Me