Roro Mendut Kesasar
sebenarnya ini cerita rakyat yang ku modifikasi sendiri, dengan sedikit perubahan dari versi aslinya.
karna aku pernah memerankan drama ini waktu SMK.
ok langsung aja, cekidot.
Roro Mendut Kesasar
Jaman Kerajaan Mataram,
“Kau mencintaiku?” tanya Mendut.
“Tentu. Lantas?” Pranacitra keheranan.
“Bawalah aku pergi. Ke manapun kau mau. Aku akan
ikut asal bersamamu,” ujarnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Pranacitra.
“Wiraguna memaksaku menikah dengannya besok,” jawab
Mendut.
“Baiklah. Kita pergi sekarang.”
Ketika mereka akan pergi lewat pintu belakang, pintu depan telah didobrak oleh Tumenggung Wiraguna. Ia datang bersama pembantunya, Dayun.
“Hei, Roro Mendut, jika kau tak mau menikah denganku, maka tak seorangpun di dunia ini yang boleh memilikimu. Maka dari itu, kau harus mati,” teriak Wiraguna.
Roro Mendut dan Pranacitra membalikkan badan. Mereka terkejut.
“Hei, Wiraguna! Lawanmu adalah aku,” sahut
Pranacitra.
“Besar juga nyalimu,” ejek Wiraguna. Kemudian
mereka berkelahi. Wiraguna tak mampu menghadapi kekuatan Pranacira. Ia
mengeluarkan kerisnya dan menusuk perut Pranacitra. Kemudian tewas seketika.
“Kang Mas, jangan tingalkan aku. Bangunlah, Kang Mas,” Roro Mendut menangis.
“Karena kekasihmu sudah mati, kau harus menikah
denganku,” kata Wiraguna degan bangga.
“Tidak. Aku tetap tak mau.”. Tiba-tiba ia mencabut
keris yang menancap di tubuh kekasihnya.
Kemudian ia menusuk dadanya dengan keris tersebut. Roro Mendut tewas disamping jasad Pranacitra.
Kemudian ia menusuk dadanya dengan keris tersebut. Roro Mendut tewas disamping jasad Pranacitra.
“Ndut, Mendut. Bangun, Ndut. Jangan tinggalkan aku,
Mendut. Terus nasibku piye, Ndut?” Wiraguna menangis.
Tiba-tiba ada seorang warga menghampiri jasad keduanya. Ia berteriak, “Raja pati. Ada raja pati.”
“Di mana ada Raja pati?”, tanya warga yang lain.
“Dibunuh oleh keris ini. Ini keris milik siapa?”
“Wah, itu keris milik Wiraguna. Adili pembunuhnya,”
sahut Dayun.
Kemudian warga menghakimi Tumenggung Wiraguna.
↔↔↔↔
Setelah tewas dibunuh Wiraguna, arwah Pranacitra
belum pergi meninggalkan tempat itu. Ia hanya berdiri melihat jasadnya.
Ia melihat Roro Mendut bunuh diri. Kemudian ia mengajak arwah Mendut untuk pergi meninggalkan tempat itu.
“Ayo, Mendut, kita pergi.”
“Baik, Kang Mas.”
Baru setengah perjalanan, mereka melihat sebuah sungai yang jernih airnya. Tetapi sungai itu memiliki pusaran air yang sangat deras.
“Aku ingin minum air sungai ini, Mas,” kata Mendut.
“Jangan, Mendut. Sungai ini berbahaya. Lihat,
pusaran airnya sangat deras,” Pranacitra melarangnya.
“Akan ku coba dulu, Kang Mas.”. saat mencoba mengambil air, tangannya tak dapat menyentuh air sungai. “Bagaimana ini, Mas? Air ini tak dapat membasahi tanganku.”
“Kau lupa? Sekarang wujud kita hanya arwah. Jasad kita telah mati, Mendut,” jawab Pranacitra.
“Iya, Kang Mas. Aku lupa. Sekarang apa yang harus
kita lakukan?”
“Kita harus pergi menghadap Yang Maha Kuasa.”
“Tapi bagaimana caranya?”
“Baiklah, ikut aku. Kita harus memasuki pusaran air
ini.”
Mereka memasuki pusaran air itu dengan bergandengan tangan. Kemudian menghilang dibawa pusaran air.
↔↔↔↔
Di jaman modern,
“Kang Mas, sekarang kita ada di mana? Apakah kita
sudah menghadap Tuhan?” tanya Mendut.
“Sepertinya belum, Ndut. Mungkin kita ada di zaman
lain,” jawab Pranacitra.
Mereka melihat kendaraan bermotor berlalu lalang dan hal lain yang belum pernah mereka lihat. Mereka kagum melihat zaman yang canggih.
Kemudian mereka melihat segerombolan orang membawa peti mati yang dibungkus kain berwarna hijau. Rombongan itu secara bersamaan mengucap “Laa ilaaha illallah.”
“Kira-kira apa yang dibawa mereka?” tanya Pranacitra.
“Aku tak tahu, Mas. Bagaimana kalau kita mengikuti
mereka?”
Kemudian arwah Roro Mendut dan Pranacitra mengikuti rombongan itu. Ternyata mereka menuju makam dan akan menguburkan jenazah bayi perempuan.
“Ternyata bayi itu telah meninggal, Mas. Kita harus menolong mereka. Aku tak mau melihat orang tua bayi itu menangis,” kata Mendut.
“Dengan cara apa kau akan menolongnya?”
“Aku akan masuk ke jasad bayi itu. Agar ia dapat hidup kembali.”
“Dengan masuknya dirimu ke dalam jasad bayi itu, kau berniat meninggalkanku?” tanya Pranacitra sedih.
“Tidak, Kang Mas. Suatu saat kita akan bertemu lagi.
Percayalah.”
Kemudian Roro Mendut langsung memasuki jasad bayi itu. Tak lama kemudian bayi itu kembali menangis.
“Alhamdulillah,” seru masyarakat yang melayat.
Kedua orang tua bayi itu senang meliaht putrinya hidup kembali.
Dengan sedih, Pranacitra meninggalkan rombongan itu. Ia berniat mencari jasad bayi laki-laki.
↔↔↔↔
20 tahun kemudian,
“Manda, ibu akan berbicara kepadamu. Kemarin Pak Jaya menawarkan pekerjaan di pabrik rokoknya. Apa kau mau bekerja di sana?” tanya sang ibu.
“Wah, dengan senang hati. Akhirnya Manda mendapat
pekerjaan,” jawab Manda kegirangan.
“Kalau begitu, berdandanlah yang cantik. Nanti Pak
Jaya akan menjemputmu.”
“Siap, Bu.”
Setengah jam kemudian, Pak Jaya datang ke rumah Manda. “Assalamu’alaikum, Mas Rangga.”
“Wa ‘alaikumussalam. Oh, Pak Jaya. Silakan masuk,”
jawab Pak Rangga, ayah Manda. “Ibu, Manda, ini Pak Jaya sudah datang.”
Mereka berdua keluar, lalu bersalaman dengan Pak Jaya. “Oh, jadi ini putrinya. Cantik sekali,” puji Pak Jaya,
“Iya, terima kasih,” jawab Manda. “Kata orang,
Manda sangat cantik seperti Roro Mendut,” lanjut Bu Rangga.
“Ya sudah. Kalau begitu saya pamit dulu. Saya berjanji akan menjaga Manda dengan baik.”
Kemudian Manda berpamitan dengan kedua orang tuanya. Ia terharu harus meninggalkan mereka.
↔↔↔↔
Dalam perjalanan, tiba-tiba mobil Pak Jaya dihadang
oleh mobil lain.
“Hai, Jaya, keluar kau!” Orang itu berusaha mendobrak mobil Pak Jaya. Karena tak tahan, ia keluar dari mobilnya. Diikuti Manda.
“Aku akan menagih janjimu,” ujar orang itu.
“Janji apa?” tanya Pak Jaya.
“Kau ini, selalu saja pura-pura lupa. Katamu kau
akan menyerahkan seluruh pabrik rokokmu dan seluruh pegawaimu.”
“Aku tak akan menyerahkannya padamu, Wira. Itu
hartaku.”
Orang yang bernama Wira itu kemudian mendorong tubuh Pak Jaya hingga jatuh mengenai kaca mobilnya. Pak Jaya tewas seketika. Sedangkan Manda dibawa seseorang masuk ke mobil Wira.
“Siapa kau?” tanya Manda.
“Aku Dayan. Anak buah Tuan Wira. Kau calon pegawai
Jaya, kan?”
“Dari mana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu. Orang secantik dirimu tak
perlu bekerja. Lebih baik kau jadi istri Tuan Wira saja. Pasti hidupmu lebih
terjamin,” jelas Dayan.
“Hahaha. Benar, Manda. Kau tak perlu bekerja. Kalau kau jadi istriku, hidupmu pasti lebih terjamin. Aku akan memenuhi nafkah lahir dan batinmu. Hahaha,” sahut Tuan Wira.
“Memangnya Anda belum punya istri?” tanya Manda.
“Apa kau bilang? Istri Tuan Wira lebih dari 1 orang,
Manda,” jawab Dayan.
“Lalu mengapa ingin menikah lagi?”
“Karena kau akan jadi istriku yang tercantik.
Hahahaha.”
↔↔↔↔
Sesampai di rumah Tuan Wira, Manda heran mengapa ia
dibawa ke sana. “Mengapa Anda membawa saya kemari?”
“Kau harus tinggal di sini, Manda. Karena sebentar lagi aku akan menikahimu.” ujar Tuan Wira.
“Aku tak mau menjadi istrimu.”
“Kenapa? Karena aku sudah tua? Apa karena aku jelek?
Semua wanita ingin menjadi istriku, Manda,” ia tetap menyombongkan diri.
“Tapi aku tetap tak mau.”
“OK. Kalau kau tak mau jadi istriku, kau harus
memberiku uang tebusan agar kau bebas dariku.”
“Baiklah. Berapa yang kau minta?”
“Aku minta 1 triliun rupiah. Kau sanggup?” ia
menantang.
“Aku sanggup. Tapi buatkan aku kios untuk menjual
rokok.”
“Baiklah.”
↔↔↔↔
Saat Manda tertidur, tiba-tiba ada arwah yang keluar
dari tubuhnya. Tak salah lagi, itu adalah arwah Roro Mendut yang memasuki tubuh
manda 20 tahun yang lalu.
“Mengapa Manda mempunyai nasib sepertiku?” ia hampir menangis. “Dulu aku pernah dipersunting Tumenggung Wiraguna. Dan sekarang, Manda juga bernasib sama. Aku harus membantunya agar tidak menjadi istri Tuan Wira. Semoga Manda bisa bertemu lelaki yang mirip dengan Kang Mas Pranacitra.” Kemudian arwahnya kembali memasuki tubuh Manda.
↔↔↔↔
Keesokan harinya, Manda mulai menjual rokok di
kiosnya. Agar rokok yang ia jual laris manis, ia merekatkan kertas pembungkus
tembakau dengan air liurnya. Ia yakin dengan memanfaatkan kecantikannya, para
pembeli akan datang dengan sekali promosi.
“Hai, Tuan-Tuan, dengarkanlah aku sebentar! Aku berdiri disini ingin menjual sesuatu pada kalian.” Manda mulai promosi. Para lelaki segera mendatangi kiosnya.
“Apa yang kau jual itu, gadis cantik?” tanya salah satu diantara mereka.
“Ini adalah rokok. Tapi bukan rokok biasa. Ini
adalah rokok bekasku,” jawab Manda. “Mau bukti?” Kemudian Manda membuat rokok
tersebut yang pada proses terakhir direkatkan dengan air liur.
“Kalau bekas gadis secantik kau, aku pun mau,” sahut yang lain.
“Eits, bukan hanya itu. Aku akan menyalakan dan
menghisap rokok ini di depan kalian. Makin pendek rokok yang ku hisap, makin
mahal harganya. Bagaimana?”
“Namanya juga rokok bekas. Berapapun harganya, aku tetap ingin membeli rokokmu. Ayo, teman-teman kita beli rokok ini.”
Kemudian mereka berbondong-bondong membeli rokok bekas Manda. Mereka senang sekali.
Pembelinya pun makin banyak. Hingga hari menjelang petang, sampailah pada pembeli terakhir.
“Hai, Manda,” sapa si pembeli.
“Hai, juga. Dari mana kau tahu namaku?” balasnya.
Manda merasa senang bertemu pembeli ini.
“Namaku Pranata. Aku bertemu denganmu saat Tuan Wira membunuh Pak Jaya. Kemudian aku mengikutimu kemari,” jawabnya.
“Mengapa kau mengikutiku? Jangan-jangan kau menyukaiku? Benarkah?”
“Mungkin kau benar.”
↔↔↔↔
Sejak pertemuan Manda dan Pranata sore itu, mereka
memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka mempunyai keinginan yang
sama, agar Manda tak menjadi istri Tuan Wira.
Setiap hari Pranata selalu membantu manda menjual rokoknya. Semakin hari, pembelinya semakin banyak. Sedikit demi sedikit Manda bisa membayar uang tebusan yang diajukan Tuan Wira. Ia merasa senang sekali.
“Senang sekali rasanya. Akhirnya sebentar lagi aku bebas dari Tuan Wira,” pikir Manda dalam hati.
Tetapi rupanya ada orang yang selau mengintai proses penjualan rokok Manda. Dia adalah Dayan. Tuan Wira menyuruhnya memantau Manda setiap hari. Walau uang tebusan sudah dibayar, ia tetap tak ingin Manda jatuh ke pelukan orang lain.
“Apa? Jadi selama ini Manda menjual rokok bersama kekasihnya?” tanya Tuan Wira geram.
“Benar, Tuanku. Hamba melihat dengan mata kepala
hamba sendiri,” jawab Dayan.
“Kurang ajar.”
↔↔↔↔
Malamnya, Tuan Wira berdiskusi dengan istri-istrinya
tentang rencana pernikahannya dengan Manda.
“Aku ingin kalian mempersiapkan pernikahanku dengan
Manda. Aku ingin menikah dengannya besok.”
“Baik, Pak. Aku akan mempersiapkannya.”, jawab si istri pertama.
“Apa? Menikah lagi? Apa masih kurang dengan jumlah istrimu saat ini?” protes istri kedua.
“Sudahlah, tak usah protes! Kita menurut saja,”
bentak istri pertama kepada istri kedua.
“Sudahlah, jangan ribut! Tambah pusing, nih!” sahut
istri ketiga.
“Sudah, cukup! Aku tak mau tahu. Nyai, tolong
panggilkan Manda!”
“Baik, Pak,” jawab istri pertamanya. Kemudian ia
datang bersama Manda.
“Manda, bersiaplah! Aku akan menikahimu besok,” ujar Tuan Wira.
“Apa? Menikahiku? Bukankah uang tebusan sudah ku
bayar?”
“Hahahaha. Kau pikir aku akan menepati janjiku? Aku
akan tetap menikahimu, Manda,” Tuan Wira kegirangan.
“Tidak. Aku tetap tak mau menikah denganmu. Lebih
baik aku pergi dari sini.” Manda pergi meninggalkan rumah Tuan Wira.
↔↔↔↔
“Tok tok tok”, Manda mengetuk pintu rumah Pranata.
Setelah dibuka, ia bertanya, “Kau mencintaiku?”
“Tentu. Lantas?” Pranata balik bertanya.
“Bawalah aku pergi. Ke manapun kau mau. Aku akan
ikut asal bersamamu.”
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Pranata bertanya
lagi.
“Tuan Wira memaksaku menikah dengannya besok,”
jawab Manda.
“Baiklah. Kita pergi sekarang.”
Saat mereka akan lewat pintu belakang, pintu depan rumah Pranata telah didobrak oleh Tuan Wira bersama Dayan.
“Hai, Manda! Jika aku tak bisa menikah denganmu,
maka tak seorangpun di dunia ini yang boleh memilikimu. Maka dari itu kau harus
mati,” ujar Wira.
“Iya. Lebih baik aku mati daripada menikah
denganmu,” balas Manda.
“Eh, jangan. Jangan, Manda. Aku tak ingin kau mati.
Aku mencintaimu, Manda,” Tuan Wira merendahkan suaranya.
“Hai, Wira, lawanmu adalah aku,” sahut Pranata.
“Besar juga nyalimu,” ejek Wira. Kemudian ia
menghunuskan pedang yang dibawanya ke arah Pranata. Tapi Manda menghadangnya
sehingga pedang itu menusuk punggungnya.
“Manda,”, teriak Tuan Wira.
Manda dan Pranata jatuh tersungkur ke lantai. Ternyata pedang yang menusuk punggung Manda juga menembus dada Pranata. Mereka tewas seketika.
Kemudian keluarlah Arwah Roro Mendut dan Pranacitra dari jasad mereka berdua. Mereka senang bisa bertemu kembali.
“Mendut,” sapa Pranacitra.
“Kang Mas,” balas mendut. Kemudian keduanya
berpelukan.
“Aku sudah menduga, Mas. Bahwa arwah di dalam tubuh
Pranata adalah arwahmu,” lanjutnya.
“Iya. Aku pun tahu. Aku senang akhirnya kita dapat
menyatukan cinta mereka,” jawab Pranacitra.
“Aku juga senang, Mas. Mirip kisah kita, kan?”
“Iya. Mirip sekali. Ayo kita pergi, Mendut.”
“Baik, Kang Mas.”
Mereka pergi meninggalkan jaman modern. Sudah saatnya mereka pergi menghadap Yang Maha Kuasa. Mereka tak peduli melihat Tuan Wira dihakimi para warga.
--END--
0 komentar