Sensei I Love You (Part 2)
Mayuyu POV
Sore ini aku
harus mengerjakan tugas membuat cerpen. Membuat cerpen yang bagus dan baik
tidak mudah. Menurut sebagian besar penulis, menulis novel lebih mudah dari
menulis cerpen. Ya, mulai dari tahap pengenalan, konflik, klimaks, dan
endingnya harus diceritakan dengan singkat. Jika kurang lengkap, ceritanya juga
akan jadi aneh.
Aku ingin membuat cerpen sederhana saja. Aku bingung harus menentukan tema apa. Apalagi setelah cerpen ini jadi, aku harus memperagakan tokoh utama dalam cerpen yang ku buat. Alias memainkan drama yang diadaptasi dari cerpen.
Di tengah kebingungan, Yuvia yang sedari tadi belajar tiba-tiba mengagetkanku. “Eh, Mayu, di sekolahku ada seorang guru baru. Umurnya 27 tahun. Tapi dia sangat imut seperti masih mahasiswa.”
“Um, lalu?”
tanyaku.
“Lalu ia mengajar
fisika. Namun sayangnya kalau hari Senin, Rabu, dan Jum’at ia mengajar di
sekolahmu. Katanya,” jawabnya.
‘Tak salah lagi. Itu ciri-ciri Haruma-sensei. Jangan sampai Yupi menyukainya, dan sebaliknya.’, pikirku.
“Hei, Mayu!
Mengapa bengong? Kan aku sedang bercerita,” gerutunya.
“Iya, maaf.
Lalu?”
“Lalu? Ya, aku
sekarang sedang menceritakannya kepadamu. Tadinya aku berpikir, siapa tahu dia
mengajar di kelasmu,” jelasnya.
“Begitu, ya? Lalu
siapa nama gurumu itu?” tanyaku.
“Namanya Miura
Haruma,” jawabnya.
“Ha?” aku kaget.
“Kenapa? Kau kenal?
Jangan-jangan kau menyukainya, ya?” tanya Yuvia.
“Ya, begitulah.
Aku juga berpikir bahwa kau menyukainya.”
“Iya. Aku
menyukai Haruma-sensei. Sangat suka,” ujarnya. “Sedang apa kau?”
“Sedang
mengerjakan tugas dari Haruma-sensei. Membuat cerpen. Dia mengajar seni peran
di kelasku.”
“Pantas saja dari
tadi serius amat. Kira-kira cerpen apa yang kau buat?”
“Aku membuat
cerpen antara aku dan Haruma-sensei. Ya, cerita cinta antara guru dan siswa,”
jawabku.
“Um. Apakah nanti
cerpenmu akan dipraktekkan dalam sebuah drama?” tanyanya lagi.
“Tentu saja,”
jawabku. Kemudian Yuvia hanya diam.
↔↔↔↔
“Ohayou,
minna-san. Hari ini saya akan memanggil kalian satu per satu untuk berakting.
Yang pertama, saya panggil Takahashi Ryu.”
Teman cowokku yang bernama Ryu itu maju. Kemudian ia berakting sesuai naskah cerpennya. Ternyata ia membuat cerpen dengan tema komedi. Aktingnya yang lucu membuat satu kelas terpingkal-pingkal.
“Selanjutnya, Watanabe Mayu,” Kemudian aku maju ke depan kelas.
Saat aku maju ke depan, Haruma-sensei menatapku sangat lama. Aku yang menjadi malu kemudian bertanya, “Sumimasen, Sensei, apa bisa saya mulai sekarang?”
“Baiklah. Saya
akan menjadi lawan mainmu,” ujar Haruma-sensei. Aku mendengar kalimat protes
dari beberapa siswi. Kemudian aku dan Haruma-sensei berakting sesuai skenario
dalam cerpenku.
Setelah berakting, aku kembali menuju ke bangkuku. Salah satu temanku berkata, “Ah, Mayuyu, aku sangat iri.”
“Iya. Mayuyu
beruntung sekali. Aku ingin beradu akting dengan Haruma-sensei. Sepertimu,” ujar
yang lain.
Aku hanya diam sambil tersenyum. Kemudian fokus dengan akting temanku yang lain.
Pelajaran seni
peran hari ini sangat menyenangkan.
↔↔↔↔
Yuvia POV
Hari Kamis, di
kelasku
Pelajaran fisika, pelajaran paling rumit yang pernah ku temui. Tapi aku suka, karena yang mengajar adalah Haruma-sensei. Ya, untuk penyemangat di tengah sebalnya aku menghafalkan simbol-simbol untuk satuan.
Haruma-sensei menulis soal di papan tulis. Ia memintaku untuk mengerjakannya. “Cindy Yuvia, coba kerjakan soal ini!”
“Hai’,” jawabku
sambil tersenyum.
Setelah selesai, beliau mengecek hasil pekerjaanku. “Ini masih salah, Yuvia. Seharusnya begini,” Haruma-sensei membetulkan pekerjaanku.
“Sumimasen,
Sensei. Saya memang kurang unggul di pelajaran fisika,” ujarku.
“Apa
pelajaran fisika yang kamu bisa?” tanyanya.
“Yang
saya bisa hanya gaya gravitasi, Sensei. Menurut teori, gaya gravitasi
menyebabkan benda jatuh ke bawah. Sedangkan gaya berbicara dan berpakaian
Sensei menyebabkan saya jatuh cinta.” Tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata
itu. Seketika teman-teman sekelasku tertawa.
“Kau ini bicara apa, Yuvia?”, Haruma-sensei kebingungan.
“Oh, sumimasen, Sensei. Saya tidak bermaksud mengatakan demikian.”
“Ya
sudah. Saya maafkan. Saat istirahat, temui saya di ruang guru. Ada hal yang
ingin saya bicarakan denganmu.”
“Baik,
Sensei.” Apa yang ingin Haruma-sensei katakan padaku? Semoga beliau tidak
marah.
↔↔↔↔
“Ada
apa, Sensei? Sekali lagi saya minta maaf atas kejadian tadi,” aku masih
ketakutan.
“Silakan
duduk, Yuvia!”. Kemudian aku duduk di sampingnya. “Namamu seperti orang
Indonesia. Apa kau berasal dari sana?”
“Iya,
Sensei. Tapi saya masih keturunan Tionghoa,” jawabku.
“Oh,
begitu. Saya sudah memaafkan perkataanmu yang tadi. Saya harap kamu lebih rajin
mempelajari fisika. Banyak guru yang bilang bahwa kau unggul di pelajaran
matematika.”
“Itu
benar, Sensei. Saya juga ingin sekali menemukan rumus seperti para ahli. Tetapi
belum berhasil. Karena saya sibuk memikirkan itu, saya jadi melupakan pelajaran
lain,” jelasku.
“Tak
pelu begitu, Yuvia. Jika kau menguasai pelajaran tertentu, lebih baik kau
menjadi guru saja. Seperti saya,” ujarnya. “Bukankah guru merupakan pekerjaan
yang mulia?”
“Benar,
Sensei. Tapi saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang guru,” sanggahku.
“Berjuanglah,
Yuvia. Kau pasti bisa. Aku melihat potensi itu dalam dirimu. Jadilah pengajar
untuk generasi masa depan. Jika nanti kau kembali ke Indonesia, jadikanlah
Indonesia menjadi negara maju!”
“Baik,
Sensei. Arigatou. Kalau begitu saya kembali ke kelas.”
bersambung ke part 3
0 komentar